Motif dan Makna Dibalik Motif Pinto Khob atau Pinto Aceh
Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Talinda Arini Fitrah pada tahun 2021, menjelaskan tentang makna dibalik motif Pinto Aceh yang mana motif Pinto Aceh banyak mengandung unsur-unsur flora dan fauna:
Seiring waktu, motif Pinto Aceh tidak hanya terdapat di perhiasan bros, namun sudah merambat ke perhiasan-perhiasan lainnya. Bahkan kini, motif Pinto Aceh sering kita jumpai pada barang berbahan dasar kain seperti baju, tas, sarung dan lainnya.
Sehingga motif Pinto Aceh sangat mewakili Aceh, apabila tas tersebut memiliki motif Pinto Aceh, orang-orang akan menyebut tas tersebut dengan “Tas Aceh”.
Baca Juga : Seurune Kalee, Alat Musik Tiup Tradisional Aceh
Demikian pula, motif Pinto Aceh yang sangat sudah melekat dengan Aceh, sekarang ini banyak ukiran ukiran Pinto Aceh di jalanan kota di Aceh seperti di pilar-pilar jembatan, tiang lampu ukiran motif Pinto Aceh dan lain sebagainya.
Pada tahun 2022, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan bahwa 5 jenis karya seni tradisional Aceh tak benda yang menjadi warisan budaya Indonesia.
Kelima bentuk karya seni tradisional Aceh tak benda tersebut, salah satunya adalah perhiasan Pinto Aceh.
Pinto Aceh is one of the Acehnese traditional motives which were initially applied on the brooches and pendants. In this current development, Pinto Aceh is not only used as jewelry but it has also been mass-produced in the forms of handicrafts (souvenirs), and the motives of Pinto Aceh have been much used as the interior design of houses and government buildings. The purpose of this descriptive analytical study was to find out the kind of Intellectual Property Rights which is appropriate to protect this sculpture of Pinto Aceh and to analyze the legal protection for the work of sculpture as Pinto Aceh. This study with normative juridical approach referred to the legal norms found in the legislation. The motive of Pinto Aceh having the esthetics value which has been a specific characteristic of Acehnese community is just 77 years old but its existence deserves to be grouped into Acehnese traditional motive which have been hundreds of years old. Yet, not many people know the origin of the motive of Pinto Aceh. Pinto Aceh was created by Mahmud Ibrahim in 1935. The Intellectual property Rights which is appropriate to protect Pinto Aceh is the Copy Right because in Article 12 (f) of Law No.19/2002 on Copy Right, it is stated that all forms of fine arts such as painting, drawing, sculpture, calligraphy, collage and applied arts belong to the creation protected by the Copy Right. Since the creator has been known, the validity protection period of Pinto Aceh is throughout the life of its creator plus 50 years after its creator dies. Therefore, Pinto Aceh has been a public domain. In case it is claimed by any citizen of foreign nations, our government will maintain its Copy Right on behalf of its creator. Even though its economic right ends, the moral right of the creation of Pinto Aceh as a work of art must be respected. The conclusion drawn is that the sculpture of Pinto Aceh which is currently developing should be an inventoried by the government considering Pinto Aceh has become the specific characteristic of the people of Aceh. The government should issue the government Regulation regulating the Protection and Registration of the Copy Right which is protected by the state in order to protect the assets of our works of art from the irresponsible parties. Keywords: Legal Protection, Sculpture, Pinto Aceh
Pinto Aceh adalah salah satu motif tradisional Aceh yang awalnya dituangkan dalam perhiasan seperti Bross dan Leontin. Perkembangan saat ini motif Pinto Aceh tidak hanya digunkaan sebagai perhiasan tetapi juga sudah di produksi massal, misalkan dalam bentuk kerajinan tangan (souvenir), serta motif-motif Pinto Aceh sudah banyak digunakan sebagai desain interior pada rumah dan gedung-gedung pemerintahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis hak kekayaan intelektual yang cocok untuk melindungi seni ukir Pinto Aceh dan menganalisis mengenai perlindungan hukum bagi karya seni ukir seperti Pinto Aceh. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam suatu perundang-undangan, spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah bersifat deskriptif analitis. Motif Pinto Aceh yang memiliki nilai estetik dan telah menjadi ciri khas masyarakat Aceh ternyata baru berusia 77 tahun namun eksistensinya pantas di kelompokkan kedalam motif tradisional Aceh yang telah berusia ratusan tahun. Namun tak banyak yang mengetahui asal usul dari motif Pinto Aceh tersebut, Pinto Aceh diciptakan tahun 1935 oleh Mahmud Ibrahim. Hak kekayaan Intelektual yang pantas melindungi Pinto Aceh adalah Hak Cipta karena dalam Pasal 12 huruf f Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 disebutkan bahwa segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, kolase dan seni terapan tergolong kedalam ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta. Karena telah diketahui siapa penciptanya maka masa berlaku perlindungan Pinto Aceh adalah selama hidup penciptanya ditambah 50 tahun sesudah pencipta pencipta meninggal dunia. Oleh karena itu Pinto Aceh telah menjadi public domain, bila terjadi pengklaiman dari bangsa Asing maka negaralah yang melaksanakan hak cipta tersebut atas nama penciptanya. Walaupun hak ekonominya berakhir, namun hak moral atas penciptaan karya seni Pinto Aceh harus tetap dihormati. Kesimpulan yang diperoleh, bahwa keberadaan seni ukir Pinto Aceh yang saat ini telah mengalami perkembangan hendaknya di inventarisasikan oleh pemerintah daerah mengingat Pinto Aceh telah menjadi ciri khas masyarakat Aceh. Pemerintah secepatnya mengeluarkan RPP yang mengatur tentang Perlindungan dan Pendaftaran Hak Cipta yang dilindungi Negara yang bertujuan untuk melindungi Aset-aset karya seni Anak bangsa dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Seni Ukir, Pinto Aceh.
Jakarta (ANTARA) - Produsen gamis Mayra Indonesia meluncurkan koleksi gamis batik yang terinspirasi dari motif khas 11 daerah di Tanah Air. Peluncuran perdana koleksi gamis batik ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan 11 tahun Mayra Indonesia yang bertajuk "Prec1ous Surpr1se".
Sejak didirikan pada tahun 2010 lalu, Mayra Indonesia memiliki semangat untuk memperkenalkan gamis sebagai salah satu
perempuan Indonesia yang dapat bersaing dengan tren fesyen lainnya, tutur pendiri Mayra Indonesia, Ira Yusra.
"Kami memahami bahwa salah satu unsur penting dari dunia fesyen Indonesia adalah tradisi kain nusantara, dan batik merupakan salah satu warisan budaya leluhur kita. Kami mempersembahkan koleksi batik pertama yang terinspirasi dari 11 corak khas daerah di Indonesia yang dipadukan dengan model gamis modern," kata Ira, dikutip dari siaran resmi, Kamis.
Corak dalam koleksi gamis batik Mayra Indonesia merepresentasikan kekayaan tradisi dari 11 daerah di Indonesia yang hadir dalam 2
, reguler dan premium, dengan detail spesial yang eksklusif. Untuk koleksi premium, gamis Mayra Indonesia hadir dengan lima corak daerah, yaitu Sumatera Barat dengan motif batik rangkiang, Aceh dengan motif khas Pinto Aceh atau Pinto Khob, DKI Jakarta dengan motif batik Betawi yang unik, Bali yang terkenal dengan kecantikan motif songketnya, serta corak batik jumputan dari Palembang.
Untuk koleksi Reguler, Mayra Indonesia menghadirkan enam corak dari enam daerah lainnya di Indonesia, diantaranya motif batik tujuh rupa khas Pekalongan Jawa Tengah, Jawa Barat dengan motif megamendung yang penuh makna filosofis, malang kucecwara yang merepresentasikan Jawa Timur.
Koleksi ini jadi lebih spesial dengan kehadiran inspirasi motif mandau khas budaya masyarakat Dayak Kalimantan Timur yang unik, batik Sentani dari tanah Papua, serta motif tekstil sulaman Karawo dari Gorontalo.
Peluncuran koleksi busana muslim dengan sentuhan batik ini merupakan bagian dari rangkaian ulang tahun ke-11 Mayra Indonesia. Situasi pandemi yang tengah melanda Indonesia tentu tidak menghentikan langkah Ira Yusra untuk terus berinovasi mengembangkan tren busana muslim di kancah industri fesyen Indonesia.
“Saya membangun Mayra Indonesia dengan kepala dan menggerakkannya dengan hati. Hampir sebelas tahun mewarnai dunia fesyen Indonesia, saya semakin bersemangat untuk terus berkreasi memperkenalkan gamis sebagai salah satu
muslimah Indonesia. Walau saat ini kita semua sedang mengalami masa sulit akibat pandemi, saya bersama Mayra Indonesia akan terus melangkah maju selama masih memberikan manfaat dan menjadi solusi bagi banyak orang,” jelas Ira Yusra.
Dia berharap sebelas koleksi baru bisa jadi tren teranyar untuk muslimah di Indonesia.
Good afternoon, this time I will share a little about one of the traditional artwork from Aceh, Indonesia. It's a Pinto Aceh or Aceh Door in English. Pinto Aceh is a traditional jewelry called Pinto Aceh. In usual to being a favorite jewelry motif for local people, this motif is also very popular by the people of Indonesia and even famous for a foreign people.
The first motif created by Mahmud Ibrahim (Utoh Mud) in 1935 took the initial inspiration from the monument relics of Iskandar Muda, Pinto Khop (source: google)
Well, in this time I make a drawing for Pinto Aceh by using pencil and pen on my sketchbook. Here are some pictures of the drawing process and the final result:
Selamat siang, kali ini saya akan membagikan sedikit tentang salah satu karya seni tradisional dari Aceh, Indonesia. Itu adalah Pinto Aceh atau Pintu Aceh dalam bahasa Indonesia. Pinto Aceh adalah Sebuah perhiasan tradisional yang disebut Pinto Aceh. Selain menjadi motif perhiasan favorit bagi masyarakat lokal, motif ini juga sangat digemari oleh masyarakat Indonesia dan bahkan terkenal hingga keluar negeri.
Motif yang pertama kali dibuat oleh Mahmud Ibrahim (Utoh Mud) pada tahun 1935 ini mengambil inspirasi awal dari Monumen peninggalan Iskandar Muda yaitu Pinto Khop (sumber: google)
Nah, Untuk itu kali ini saya membuat gambar Pinto Aceh dengan menggunakan pensil dan pulpen pada sketchbook saya. Berikut adalah beberapa foto proses gambarnya dan hasil akhir gambar :
#THEN, HERE IS THE RESULT
Kain Songket Aceh merupakan kerajinan tangan tradisional yang menggunakan Alat Tenun Kaki Tangan (ATKT). Hasil tenun ini bukan hanya Secarik kain, di dalamnya melekat nilai-nilai budaya leluhur yang hidup dalam masyarakat Aceh. Mutiara songket merupakan nama kelompok tenun yang dibentuk pada tahun 2018. Selain untuk konsumen individu, Mutiara Songket juga menerima permintaan desain untuk pembeli kolektif. Kain songket Aceh yang dihasilkan memiliki motif khas floral, seperti motif pucok reubong, Pinto Aceh, motif bungong pula, motif bungong meranti, motif bungong geulima, dll.
Terinspirasi dari Monumen Pinto Khob Peninggalan Iskandar Muda
Awalnya, motif Pinto Aceh didesain oleh salah satu pengrajin emas yang berasal dari desa Blang Oi pada tahun 1953 yang bernama Mahmud Ibrahim.
Pada saat itu, Mahmud Ibrahim hanya membuat satu jenis perhiasan dengan motif ini yaitu bros atau pin.
Sebelumnya pada tahun 1926, Mahmud Ibrahim telah menerima sertifikat resmi atas keterampilannya dalam membuat perhiasan dari pemerintah Belanda pada penyelenggaraan pasar malam di Banda Aceh (Kutaradja).
Baca Juga : Tari Seudati dan Semangat Perjuangan Aceh
Dampak yang dialami setelah mendapatkan prestasi tersebut, membuat nama Mahmud Ibrahim menjadi terkenal ke seluruh Aceh.
Desain Pinto Aceh terinspirasi oleh monumen peninggalan Sultan Iskandar Muda yang bernama Pintu Khob.
Pintu Khob merupakan gerbang penghubung antara Taman Sari dengan Krueng Daroy, yang selalu dilewati oleh putri Kesultanan Aceh Darussalam dan para dayangnya ketika hendak pergi mandi di Krueng Daroy.
Pintu gerbang tersebut dibuat khusus oleh Sultan Iskandar Muda untuk permaisurinya.
Monumen Pintu Khop yang sekarang masih dapat ditemui ini berada di sekitar taman rekreasi yang terletak di tepi Krueng Daroy. Taman ini sekarang bernama Taman Putroe Phang.
The Pinto Aceh motif is the creativity of local Acehnese motifs that are different from other motifs in Indonesia. The Pinto Aceh motif has its own uniqueness and aesthetic value. This can be seen from its symmetrical like a butterfly shape. Interest in raising the theme of Pinto Aceh motifs is because researchers want to give a new touch, especially in leather crafts combined with Pinto Aceh motifs. So far the Pinto Aceh motif works that have been created are still the same as the first time this motif was created, always in form of a symmetrical butterfly. Because of that the creation of leather craft works is realized in the form of two-dimensional and three- dimensional works by presenting the new forms. The materials used are parchment leather, vegetable tanned leather, mosquito netting wire, wood, glass, mirrors, synthetic leather and iron. The method used in the creation of this work goes through three stages, that is the exploration stage, the design stage and the embodiment stage. The works created do not only contain aesthetic value but also contain the meaning of freedom of creation, which is manifested in the creation of the Pinto Aceh motif. The expression of the Pinto Aceh motif as a source of inspiration for the creation of leather craft can be a medium for art connoisseurs, especially craft art and in hope to give another new forms of craft art, so that in the future it can become a reference for the development of craft art, especially leather craft.
Keywords: PintoAceh,motifs,leather,craf.
Motif Pinto Aceh merupakan kreativitas lokal masyarakat Aceh yang jauh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Motif Pinto Aceh mempunyai keunikan dan nilai estetika tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari bentuknya yang simetris seperti kupu-kupu. Ketertarikan mengangkat tema motif Pinto Aceh karena peneliti ingin memberikan sentuhan baru khususnya kriya kulit yang dipadukan dengan motif Pinto Aceh khususnya kriya kulit. Sejauh ini karya-karya motif Pinto Aceh yang diciptakan masih sama seperti motif pertama kali diciptakan, yaitu seperti kupu-kupu yang simetris. Oleh karena itu penciptaan karya kriya kulit ini direalisasikan ke dalam bentuk karya dua dimensi dan tiga dimensi dengan menghadirkan bentuk-bentuk yang baru. Bahan yang digunakan adalah kulit perkamen, kulit tersamak nabati, kawat jaring nyamuk, kayu, kaca, cermin, kulit sintetis dan besi. Metode yang digunakan pada penciptaan karya ini melalui tiga tahap, yaitu: tahap eksplorasi, tahap perancangan dan tahap perwujudan. Karya-karya yang diciptakan tidak hanya mengandung nilai estetik tetapi juga mengandung makna kebebasan dalam berkarya yang diwujudkan dalam bentuk kreasi motif Pinto Aceh. Ekspresi motif Pinto Aceh sebagai sumber inspirasi penciptaan kriya kulit ini dapat menjadi media terhadap penikmat seni, khususnya seni kriya dan diharapkan dapat melahirkan bentuk kriya seni baru, sehingga dapat menjadi acuan untuk pengembangan kriya seni khususnya kriya kulit selanjutnya.
Kata Kunci: Pinto Aceh, motif, kulit, kriya.
Karya Mansyah : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
Saniman Andi Kafri : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
Muhammad Hamzah : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
Dharsono, D. (2016). Kreasi Artistik “Perjumpaan Tradisi Modern Dalam Paradigma Kekaryaan Seni”. Surakarta: Citra Sain.
Ferawati, F., & Dewi, L. (2020). Suluah Dalam Nagari; Penciptaan Kriya Ekspresi Dengan Inspirasi Bundo Kanduang. Artchive: Jurnal Seni Rupa dan Desain Indonesia , 1(2), 122-133. http://dx.doi.org/10.53666/artchive.v1i2.1630.
Ginting, J., & Triyanto, R. (2020). Tinjauan Ketepatan Bentuk, Gelap Terang, dan Warna padaGambar Bentuk Media Akrilik. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 9(2), 300-308. https://doi.org/10.24114/gr.v9i2.20118.
Gustami, SP. 2007. Butit-Butir Mutiara Estetika Timur “Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia”. Yogyakarta: Prasista.
Izzara, W. A., & Nelmira, W. (2021). Desain Motif Tenun Songket Minangkabau Di Usaha Rino Risal Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 10(2), 423-431. https://doi.org/10.24114/gr.v10i2.25928.
Mansyah, K. (2019), “Kaligrafi Arab Dalam Ekspresi Pinto Aceh Melalui Hiasan Interior”. Hasil Wawancara Pribadi: 30 Agustus 2019, Institut Seni Indonesia Padangpanjang.
Mansyah, K., Sulaiman, S., & Nursyirwan, N. (2020). Seni Kaligrafi Arab Dalam Ekspresi Pinto Aceh. Melayu Arts and Performance Journal, 3(1), 27-36. http://dx.doi.org/10.26887/mapj.v3i1.1341.
Sunarto, S. (2008). Seni Tatah Sungging Kulit. Yogyakarta: Prasista.
Susanto, M. (2011). Diksi Rupa; Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: DictiArt Lab & Djagad Art House.
Zam, R., Dharsono, D., & Raharjo, T. Transformasi
Estetik Seni Kriya; Kelahiran Dan Kriya Masa Kini.
(2), 302-310. https://doi.org/10.24114/gr.v11i2.36026.
© 2024 — Senayan Developer Community
Cendera mata yang sering dijadikan buah tangan oleh turis yang berkunjung ke Aceh, salah satunya adalah sesuatu yang menggunakan Pinto Aceh, baik perhiasan, aksesoris, baju, dan masih banyak lagi.
Motif ini adalah motif yang sangat diminati oleh masyarakat Aceh. Sehingga banyak barang ataupun aksesoris dengan motif ini yang mudah untuk dijumpai di Aceh.